Sabtu, 01 September 2012

Prof.Dr. A.Farida Patittingi, SH,MH : Tak Bisa Dipihak ketigakan



PEMBERIAN hak atas tanah kepada warga negara dan pemerintah telah diatur melalui Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Prosedur pemberian hak, misalnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) didahului pengajuan permintaan memperoleh hak ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). HPL hanya dapat diberikan kepada pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan pemerintah lainnya.

Biasanya, di atas tanah HPL diterbitkan hak atas tanah yang lain bila pemda atau BUMN ingin melakukan pengembangan kawasan dengan menggandeng pihak ketiga. Hak lain itu dapat berupa Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan bila terdapat perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga, sehingga HGB juga atas nama pihak ketiga.

Namun, perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga untuk pemanfaatan lahan hanya dapat dilakukan bila pemda atau BUMN sudah memiliki HPL. Kerja sama tidak dapat dilakukan, bila unsur pemerintah ini belum memiliki hak, karena bukan pemilik tanah negara.

Di atas tanah HGB yang dipegang pihak ketiga, juga dapat dilakukan peningkatan menjadi hak milik setelah melalui pertimbangan BPN. Pasal 35 Undang-undang Pokok Agraria mengatur HGB adalah hak mendirikan bangunan yang bukan miliknya paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun.

HGB juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Pasal 39 UUPA juga memberikan kesempatan HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Terkait permohonan penerbitan HPL, BPN juga berhak tidak mengabulkan permintaan HPL yang dimohonkan pemda atau BUMN dengan pertimbangan tidak memenuhi syarat.

Pertimbangan tidak memberikan HPL di antaranya, lahan digunakan untuk kepentingan publik yang lebih besar, konservasi, atau pengamanan lingkungan lainnya. Prinsipnya, hak-hak masyarakat tidak boleh dihilangkan.

Hingga saat ini, belum ada regulasi yang mengatur HGB di atas HPL untuk pemanfaatan ruang di bawah tanah. Undang-undang Pokok Agraria hanya mengatur pemberian hak atas tanah di atas permukaan bumi.

Ruang bawah tanah dapat dimanfaatkan dan diberikan hak sepanjang berkaitan langsung dengan pemanfaatan ruang yang berada di atasnya atau yang berada di permukaan bumi. Contohnya, ruang bawah tanah perkantoran atau pusat perbelanjaan yang digunakan untuk areal parkir.

Belum ada aturan tertulis yang memberikan hak atas pemanfaatan ruang bawah tanah yang tidak berkaitan langsung dengan ruang di atasnya.









2 komentar:

  1. Sebaiknya sesegera mungkin diatur agar tidak muncul akibat hukum di kemudian hari....

    BalasHapus
  2. ini kan berita 2011.... seharusnya dicantumkan sumber aslinya...
    http://ipad.fajar.co.id/berita.php?berita=20120901003753

    BalasHapus